Senin, 30 November 2009

Wisata Rakyat Pantai Dampo Awang


Menjual Keunikan Dampo Awang


Selasa, 28 Juli 2009 | 14:35 WIB/Kompas

Taman Rekreasi Pantai Kartini atau TRPK Rembang kini bernama Dampo Awang Beach. Nama baru ini muncul setelah Pemerintah Kabupaten Rembang memberikan hak pengelolaan obyek wisata ini kepada pihak swasta. Tujuan pemberian nama baru ini adalah untuk menciptakan image (citra) baru yang mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.

Memberi nama baru menjadi Dampo Awang Beach wajar dilakukan karena cara ini adalah bagian dari strategi memperbaiki image jika sebuah obyek wisata tidak berdaya tarik lagi. Namun, penggantian nama tidak bisa dilakukan dengan serampangan. Nama baru harus bisa lebih mewakili obyek wisata tersebut sehingga tidak mengaburkan image yang ingin dicapai.

Lalu, apakah Dampo Awang Beach nama yang tepat? Bukankah nama Kartini lebih familiar bagi masyarakat karena memiliki kedekatan sejarah? Pengelola memang memiliki alasan yang lebih detail. Namun, jika alasannya karena faktor historis, nama Kartini lebih kuat memberikan nilai positif bagi citra wisatawan.

Nama RA Kartini lebih merepresentasikan Rembang. Catatan perjalanan hidup pejuang emansipasi wanita ini menjadi bagian sejarah Rembang. Bukti historisnya kini diabadikan di Museum Kartini dan Makam Kartini sehingga eksistensi TRPK menjadi bagian kesejarahan tersebut. Jadi, Rembang dengan brand Kartini justru lebih memikat wisatawan.

Namun, jika nama baru untuk menciptakan deferensiasi dengan pantai lain, nama Dampo Awang lebih mengena. Selama ini terjadi bias informasi, setiap disebut Pantai Kartini, perhatian wisatawan mengarah pada Pantai Kartini di Jepara. Nama Dampo Awang Beach menjadi pembeda yang jelas antara pantai di Rembang dan Jepara.

Selain nama baru, keberhasilan perbaikan image Dampo Awang Beach ditentukan oleh revitalisasi fasilitas pariwisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Semakin bagus fasilitas pariwisata, semakin berpeluang besar dikunjungi banyak wisatawan.

Fasilitas rekreasi yang lama bisa tetap dipertahankan, tetapi perlu dikemas lebih bervariatif lagi. Fasilitas baru harus mempunyai nilai tambah dan memiliki ciri khas yang membedakan dengan fasilitas-fasilitas di obyek wisata daerah lain.

Namun, apa pun fasilitas yang akan ditambahkan, seharusnya ada penegasan identitas yang berkaitan dengan Dampo Awang. Sebagai maskot, keunikan Dampo Awang harus ditonjolkan di lokasi wisata tersebut sehingga memperkuat perbedaan dengan obyek wisata pantai lain.

Saat ini baru ada Jangkar Dampo Awang yang dipajang di anjungan pantai. Jauh lebih menarik jika pengelola memajang benda-benda bersejarah peninggalan Dampo Awang lainnya, misalnya perahu Dampo Awang. Jika tidak memungkinkan, pengelola bisa membuat dan memasang replikanya. Penting juga membuat museum mini untuk memajang pernik-pernik yang berkaitan dengan Dampo Awang.

AWI WIYONO Penggiat Citizen Journalism

Read More... Read More...

Jumat, 20 November 2009

Opini Rakyat: Menanti Museum Batik Lasem


MENANTI MUSEUM BATIK LASEM
Oleh Awi Wiyono*

Pemerintah Kabupaten Rembang akan membangun museum batik di Lasem. Dana yang dianggarkan untuk merealisasikan museum batik ini sebesar Rp2miliar dan ditargetkan bisa beroperasi tahun depan.

Museum ini akan mengoleksi benda-benda kuno yang berkaitan dengan sejarah batik Lasem. Banyaknya bukti dan catatan sejarah batik tulis di Lasem, karena kota kecamatan yang berlokasi 12 Km arah Timur dari kota Rembang ini sejak dulu terkenal sebagai pusat industri batik tulis pesisiran.

Kehadiran Museum Batik Lasem layak dinanti, karena keberadaanya akan melengkapi museum-museum batik yang telah mapan, seperti Museum Batik Pekalongan, Museum Batik Danarhadi Solo, dan Museum Batik Joglo Cipto Wening Yogyakarta.

Masyarakat akan memperoleh banyak keuntungan dari keberadaan Museum Batik Lasem. Setidaknya masyarakat mendapat satu lembaga lagi yang memiliki banyak fungsi, diantaranya sebagai pusat dokumentasi, penelitian ilmiah, penyaluran ilmu, penikmatan karya seni, perkenalan kebudayaan antar daerah dan bangsa, obyek wisata, dan suaka budaya.

Namun masalahnya, masyarakat sedang kurang berminat mengunjungi museum. Citra kumuh museum menjadi salah satu penyebabnya. Menurut Arkeolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Daud Aris Tanudirjo, sejak otonomi daerah mayoritas dari 286 museum milik pemerintah provinsi dan kabupaten/kota banyak yang tidak terawat. Wajar bila masyarakat enggan berkunjung ke lembaga kebudayaan ini.

Galeri Modern

Pertanyaannya, apakah Museum Batik Lasem nanti bernasib sama menjadi bagian dari museum-museum kumuh tersebut? Semoga saja tidak. Untuk itu, Museum Batik Lasem harus hadir dalam format art gallery atau museum seni yang bercitra modern.

Museum Batik Lasem tentu harus memenuhi banyak syarat untuk menjadi galeri/museum seni yang bercitra modern. Mengacu pendapat mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati, dasar untuk menjadi museum seni yang modern adalah memiliki banyak koleksi benda-benda antik yang berkualitas. Artinya, Museum Batik Lasem harus memiliki banyak koleksi batik kuno yang bernilai artistik tinggi.

Sebagai contoh, Museum Batik Danarhadi mengoleksi lebih dari 10.000 batik kuno berkualitas tinggi. Museum ini bisa memamerkan secara bergiliran ribuan koleksi batik antik, sehingga masyarakat tidak bosan mengunjunginya. Nah, kira-kira berapa koleksi batik antik yang akan dipamerkan di Museum Batik Lasem? Diharapkan bisa melebihi koleksi Museum Danarhadi.

Modernitas museum seni identik dengan efektifitas pelaksanaan tata kelolanya. Mengacu pendapat pakar Museologi dari Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr Nurhadi Magetsati, museum modern harus dikelola oleh orang-orang yang handal dalam hal preservasi. Maksudnya, pengelola Museum Batik Lasem harus memiliki kompetensi dan kemampuan manajemen administrasi sehingga bisa bekerja efektif dalam pemeliharaan fisik dan administrasi dari berbagai koleksi benda-benda antik nya.

Menunjang tertib administratif itu, Museum Batik Lasem perlu menggunakan sistem teknologi informasi dan memasang peralatan modern, seperti kamera tersembunyi (CCTV) dan microradio untuk mengamankan koleksi batik. Hal ini penting karena belakangan ini banyak kasus pencurian benda-benda kuno berharga tinggi koleksi museum.

Museum Batik Lasem juga perlu tampil dalam format museum maya (cyber museum). Langkah ini untuk menyikapi fenomena keseharian masyarakat yang mulai akrab dengan teknologi informasi global dan media internet.

Direktur Rumah Seni Yaitu Semarang Tubagus P Svarajat pernah mengatakan, museum maya merupakan solusi dengan perspektif futurisik. Museum maya jika dirancang menarik, interaktif, dengan aplikasi antarmuka (interface) yang nyaman, bisa mendatangkan pengunjung dari mana saja, karena rentang jarak dan waktu bukan lagi menjadi kendala.

Meski demikian, Museum Batik Lasem tetap harus tampil konvesional. Kesemua unsur modernitas museum harus tetap dikemas di dalam gedung berarsitektur elegan yang berdiri di lokasi strategis, sehingga masyarakat menyukai dan mudah mengaksesnya.

Faktor terpenting, modernitas museum harus didukung oleh sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Pengelola Museum Batik Lasem harus memiliki keahlian dan kemampuan akademik. Mereka harus mampu membuat program-program kerja berkualitas yang mudah memikat banyak pengunjung.

Untuk meningkatkan kualitas calon pengelola Museum Batik Lasem, sekarang mereka seharusnya rajin mengasah kemampuan dengan cara belajar museologi di lembaga-lembaga terkait dan museum-museum batik yang sudah maju.

Ada baiknya mereka melakukan studi banding ke Museum Batik Pekalongan dan Museum Batik Danarhadi Solo. Tujuannya agar mendapatkan pengalaman praktis yang tepat untuk mengembangkan Museum Batik Lasem.

Tidak bermaksud mengabaikan karakter kedaerahan, pengelola Museum Batik Lasem boleh mengadopsi paradigma manajemen Museum Batik Pekalongan dan Museum Danarhadi Solo. Kedua museum batik ini layak menjadi acuan, karena keduanya dinilai berhasil menjadi museum batik yang mampu menjawab tantangan zaman.

Libatkan Publik

Menjadikan modern Museum Batik Lasem membutuhkan dana yang besar. Faktor dana sering membuat Pemkab Rembang kelabakan akibat keterbatasan anggaran. Untuk itu, Pemerintah perlu membuka diri dengan cara melibatkan publik dalam pengelolaan Museum Batik Lasem.

Pemerintah perlu menerapkan paradigma pengelolaan partisipatoris atau sistem konsorsium. Artinya, Pemerintah melibatkan masyarakat, terutama dari kalangan investor, dalam pengelolaan Museum Batik Lasem. Kolaborasi pemerintah dan swasta akan lebih efektif untuk mengembangkan Museum Batik Lasem.

Kehadiran investor memudahkan Museum Batik Lasem mendapatkan dana, sehingga memperlancar pelaksanaan semua program kerja. Akhirnya kerja pengelola museum tidak hanya berkutat pada fungsi pengoleksian benda-benda kuno, tetapi juga mensinergikan fungsi pendidikan, penelitian, pariwisata, hiburan, dan bisnis, sehingga memudahkan menarik perhatian masyarakat.

*Awi Wiyono, Penggiat Citizen Journalism
Read More... Read More...

Kamis, 19 November 2009

Menu Rakyat: Lontong Tahu Lezat


Lontong tahu lezat! Murah banget, satu porsi plus es teh cuma Rp5000. Pingin? Datang ke Rembang, Jawa Tengah. Di daerah Pantura ini banyak penjual Lontong Tahu, menu makanan rakyat yang terdiri dari lontong, tahu, saus sambal kacang tanah, sayur lodeh, lauk tempe atau rempeyek udang. Enak untuk santap siang.
Read More... Read More...

Selasa, 17 November 2009

Seni Rakyat: Barongsai Beraksi



Barongsai masih sering muncul di acara-acara yang diadakan oleh perusahaan. Barongsai ini beraksi di acara yang diselenggarakan oleh merk sepeda motor terkenal di Rembang, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.
Read More... Read More...

Seni Rakyat: Membenahi "Blencong"




Pencahayaan sangat penting saat memainkan Wayang Kulit. Dulu para dalang menggunakan blencong (lampu minyak tanah), kini sudah menggunakan listrik sehingga seni pencahayaannya bisa lebih bervariatif dan kreatif. Sayang, lampu listrik pun terkadang padam, sehingga seorang asisten dalang harus sigap dan cepat untuk memperbaikinya. Jika tidak, pertunjukan wayang kulit bisa kacau!
Read More... Read More...

Seni Rakyat: Wayang Kulit Mulai Ditinggalkan





Kesenian tradisonal Wayang Kulit mulai terjepit. Banyak dalang yang mengeluhkan sepinya tanggapan. Mungkinkah masyarakat mulai meninggalkan Wayang Kulit?
Read More... Read More...

Seni Rakyat: Ketoprak Semakin Terpinggirkan





Kesenian tradisional Ketoprak semakin terpinggirkan. Group Ketoprak harus rela berkeliling kampung dan bongkar pasang panggung, mengikuti kemanapun sang penanggap mengundangnya. Harga sekali tanggapan (sehari penuh, siang malam) sekitar Rp10juta.
Read More... Read More...

Senin, 16 November 2009

Seni Rakyat: Menyelamatkan Ketoprak

Se

Kesenian tradisional Ketoprak sedang termarginalisasi. Serbuan seni budaya modern berhasil memposisikan Ketoprak di titik kulminasi terendah di dalam selera pasar industri kreatif Indonesia. Ketoprak hanya bisa bertahan di wilayah periferi, baik secara geografis, sosial, maupun, ekonomi.

Akibatnya, Ketoprak hanya mudah ditemui di wilayah-wilayah pinggiran, seperti masyarakat pedesaan pantai Utara Jawa (Pantura). Penggemarnya pun tersegmentasi pada kelas menengah ke bawah, sehingga Ketoprak seakan ditakdirkan sebagai penghibur kaum marginal.

Loyalitas kaum proletar terhadap Ketoprak juga menjadi pertahanan terakhir bagi eksistensi kesenian tradisional ini. Kekukuhan relasi terhadap Ketoprak ini bisa terjaga baik, karena mereka memasukan Ketoprak ke dalam ranah spiritualisme. Eksistensi Ketoprak menjadi bagian dari ritual adat permohonan berkah dan perlindungan kepada Tuhan.

Setiap daerah memiliki istilah berbeda dalam menyebut ritual adat tersebut. Ada daerah yang menyebut Rasulan. Masyarakat Pantura, khususnya di Rembang, menyebutnya Sedekah Bumi dan Sedekah Laut. Perayaan Sedekah Bumi dan Sedekah Laut ini wajib dilakukan sekali dalam setahun.

Mayoritas dari ratusan dukuh (desa) di Rembang merayakan Sedekah Bumi dan Sedekah Laut dengan mementaskan Ketoprak. Jadi wajar, bila hampir setiap minggu, bahkan setiap hari masyarakat bisa menyaksikan para seniman Ketoprak mempertontonkan aksinya.

Sesering itu pula para seniman Ketoprak membongkar pasang panggung, berpindah dari dukuh (desa) satu ke dukuh (desa) lain untuk mendekatkan keindahan nilai-nilai seni Ketoprak kepada masyarakat. Pergerakan mereka selalu mengikuti arus permintaan pementasan. Seniman ISI Surakarta mengatakan mumpung lagi peye (PY/payu), kesel sithik ora opo-opo.

Ada banyak group Ketoprak yang sering pentas di Rembang. Menurut pengamatan penulis selama dua bulan terakhir, group Ketoprak tersebut berasal dari Rembang dan Pati, diantaranya Wahyu Manggolo, Songgo Budoyo, dan Kridho Carito.

Mereka memulai pertunjukan siang pada jam 12.30-16.30 WIB, dan dilanjutkan pentas malam pada jam 20.30-03.00 WIB. Namun jangan terburu memakai standar tinggi saat menilai penampilan mereka. Performance art mereka masih belum maksimal seperti masa kejayaannya. Mulai dari tata panggung, pencahayaan, gamelan, make up, hingga alur cerita masih serba sederhana.

Belum adanya tobong atau tempat pertunjukan yang representatif menjadi aral maksimalisasi aksi mereka. Bahkan Group Ketoprak Songgo Budoyo saat manggung di Desa Jeruk, rela tampil di bawah pohon besar yang rindang. Beratapkan langit, para niyaga memainkan gamelan seraya berharap hujan tidak turun. Untungnya pawang hujan berhasil mengusir mendung, sehingga para seniman Ketoprak ini bisa tenang berekspresi hingga pementasan berakhir.

Namun sesederhana apapun penampilan group Ketoprak itu, ternyata masih memikat hati masyarakat. Buktinya, penonton berjubel saat Wahyu Manggolo pentas di Desa Pulo. Kerumunan penonton sempat membuat macet jalan yang melintas arena pertunjukan Ketoprak tersebut.

Bila dicermati, realita relasi ritual adat dan Ketoprak tersebut bisa menjadi momentum bagi kebangkitan Ketoprak. Artinya diakui atau tidak, ritual adat terbukti mampu berperan besar dalam menyelamatkan atau minimal memberikan nafas segar bagi Ketoprak agar bisa hidup lebih lama.

Kenyataan tersebut harus dipahami oleh para seniman Ketoprak, masyarakat pecinta Ketoprak, dan Pemerintah. Para seniman Ketoprak seharusnya menangkap peluang yang sedang berpihak pada diri mereka. Seberapapun besarnya, perayaan ritual adat telah memberikan kekuatan atau energi bagi kelangsungan hidupnya. Mereka harus bisa memaksimalkan energi tersebut untuk memperbaiki diri agar bisa tampil lebih kreatif dan inovatif, baik performance art maupun manajemen bisnisnya.

Tanpa bermaksud mengaburkan nilai-nilai ideal pesan yang ingin disampaikan, para seniman Ketoprak harus bisa mensinergikan seni pop modern dan tradisional untuk memperkini penampilan. Banyak unsur seni pop modern yang bisa untuk mempercantik kemasan Ketoprak.

Apalagi, Ketoprak adalah akumulasi dari berbagai cabang seni, seperti tari, musik, lagu, komedi, dan theater/drama. Semua paduan ini bisa diterima oleh selera masyarakat sekarang asalkan disajikan dalam ramuan imaji estetik hiburan yang pas.

Keahlian meramu seni ini selalu menjadi tantangan bagi para seniman Ketoprak masa kini dan yang akan datang. Siapa yang tanggap, mereka akan berhasil merasuk kembali ke pusaran industri kreatif yang kini sedang didengungkan.

Penyelamatan Ketoprak juga membutuhkan dukungan masyarakat. Dalam konteks ini, sikap masyarakat Rembang pantas mendapatkan apresiasi. Mereka berada di jalur yang tepat, saat perayaan ritual Sedekah Bumi dan Sedekah Laut memilih mementaskan Ketoprak dibanding pentas hiburan yang lain.

Sikap dan tindakan masyarakat Rembang ini harus dilanjutkan. Jika perlu tokoh-tokoh adat desa menyatukan komitmen untuk selalu menampilkan Ketoprak sebagai hiburan di setiap acara ritual adat Sedekah Bumi dan Sedekah Laut. Komitmen semacam ini pasti bisa menjaga eksistensi Ketoprak hingga kapanpun.

Memang tidak mudah merealisasikan komitmen tersebut. Pasti banyak hambatan. Selain alasan keyakinan, aral bisa datang dari hal-hal yang bersifat teknis, terutama yang berkaitan dengan pendanaan. Setiap desa memang memiliki kemampuan finansial terbatas. Saat ini dibutuhkan sekitar Rp 10 juta untuk mementaskan Ketoprak.

Hambatan pendanaan itu bisa diatasi dengan gotong royong. Warga desa bisa menggalang dana dengan cara iuran dan mencari sponsor. Melihat banyaknya penonton Ketoprak, pasti ada perusahaan yang mau mensposori pementasan Ketoprak. Solusi ini sudah dibuktikan oleh warga desa Pandean saat mementaskan Ketoprak Kridho Carito belum lama ini.

Dukungan Pemerintah Kabupaten Rembang tentu saja sangat dibutuhkan.Pemerintah harus terus melakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap para seniman Ketoprak. Pembinaan ini penting untuk regenerasi seniman Ketoprak. Selain itu, pemerintah perlu menambah fasilitas gedung pertunjukan, sehingga bisa memacu perkembangan kesenian tradisional, terutama Ketoprak.

Pemerintah juga harus membuat gebrakan berupa acara-acara yang bergaung besar. Perayaan ritual adat, seperti perayaan Syawalan atau Lebaran Ketupat, bisa dijadikan event pementasan aneka kesenian tradisional, termasuk Ketoprak.

Akhirnya, paparan ini hanya mengungkap sebuah contoh kasus tentang peran ritual adat yang mampu menjaga eksistensi kesenian tradisional Ketoprak. Perayaan ritual adat di daerah lain tentu juga bisa untuk menyelamatkan kesenian tradisional lainnya, seperti Wayang Kulit dan Ludruk. Asalkan, masyarakat setempat berkomitmen memasukkan kesenian tradisional menjadi bagian dari perayaan ritual adat daerah tersebut. Sanggupkah?


Read More... Read More...